Selasa, 23 Agustus 2011

PERNYATAAN SIKAP : Kebebasan Akademik Adalah Hak Mahasiswa/i

Sekretariat : Jl. Janti, Gg. Damar No. 3A, Janti, Caturtunggal, Depok, Sleman, DIY
E-mail   : resista_mahasiswa@yahoo.com   
Cp: +62 857 2925 2134



Jaringan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan (JGMK)

Wujudkan Kebebasan Akademik!
Bangun Budaya Demokrasi Di Kampus!

Percuma saja ribuan lulusan yang dihasilkan perguruan tinggi, bila jutaan massa rakyat dibiarkan bodoh. Niscaya, lulusan – lulusan itu akan menjadi penindas baru bagi rakyatnya.
(Y.B Mangunwijaya/Romo Mangun)
Salam Pembebasan!

Perkembangan ilmu pengetahuan sejatinya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat, kerja yang menguji ilmu pengetahuan tersebut serta kebebasan akademik. Ilmu pengetahuan menjadi ada hanya ketika masyarakat mencapai tahapan kematangan tertentu. Kontradiksi yang ada dalam masyarakat memunculkan berbagai macam kebutuhan bagi masyarakat untuk maju. Hal tersebut mendorong individu-individu untuk mampu menemukan jalan keluarnya. Kondisi ilmu pengetahuan juga merupakan salah satu indikator kemajuan sosial. Karena dia berkembang dengan dasar perkembangan masyarakat, sudah sepantasnya ilmu pengetahuan diabdikan bagi perkembangan masyarakat. Pengabdian dan uji kebenaran dari ilmu pengetahuan tersebut tentunya dengan kerja-kerja.

Untuk dapat berkembangnya ilmu pengetahuan juga membutuhkan kebebasan. Tak terhitung pemikir-pemikir besar seperti Isaac Newton, Thomas Hobbes dan John Locke membangun jalan bagi adanya kebebasan akademik. Kebebasan Akademik dimaknai sebagai hak untuk mencari kebenaran, menyebarkan dan mengajarkan apa yang dipegang oleh seseorang sebagai kebenaran. Hak tersebut juga berimplikasi bahwa seseorang tidak dapat menutupi apa yang dianggap oleh orang lain sebagai kebenaran. Kebebasan akademik bagi pendidikan adalah seperti mahluk hidup membutuhkan udara. Tanpanya pendidikan hanya akan menghasilkan dogma-dogma unscientific dan robot-robot bertitel tanpa otak. Yang pada akhirnya menghancurkan pendidikan itu sendiri.

Apa yang terjadi di Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (FE UAJY) adalah salah satu deretan dari mengakarnya sistem pendidikan yang ada sekarang. Dimana sistem tersebut selalu menindas Mahasiswa/i yang mengenyam didunia pendidikan. Salah satu Kebijakan NKK/BKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik pada tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Akan tetapi konsep SMPT tidak lain hanyalah semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus (organ esktra/gerakan rakyat). Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus, dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen dan demokratis. Hal tersebut yang kemudian tidak diterapkan oleh pihak FE UAJY. Kami dari Resista yang awalya ingin mendirikan posko/stand untuk bersosialisasi tentang hak – hak mahasiswa dan kehidupan dikampus kepada mahasiswa baru dengan program perjuangan seperti : kepentingan sosial ekonomi Mahasiswa : pendidikan gratis, ilmiah, domkratis dan berwatak kerakyatan, kebebasan berekpresi dan berorganisasi dikampus, pelibatan Mahasiswa secara proposional dalam pengambilan kebijakan kampus, transparasi dan akuntabilitas pengolahan kampus, mewujudkan mahasiswa progresif yang ahli dibidangnya dan berwatak kerakyatan, bersolidaritas terhadap gerakan rakyat dan pekerja. Itu yang kemudian menjadikan tujuan Resista untuk menciptakan sarjana – sarjana yang mempunyai kepedulian terhadap Rakyat, yaitu sarjana ahli yang mengusai bidangnya, demokratis, dan berwatak kerakyatan, yang kedepannya akan melahirkan kehidupan rakyat sebagai manifestasi usaha penciptaan tatanan yang lebih demokratis, egaliter dan tanpa penindasan. Untuk menjaga idealisme mahasiswa tersebut, maka kami mengajak mahasiswa untuk berorganisasi, khususnya Mahasiswa baru. Karena dengan organisasi mahasiswa dapat berdiskusi dan berpraktek bersama, dan organisasi disini kami maknai sebagai alat perjuangan, alat yang menghimpun kekuatan secara terorganisir dan terpimpin. Visi dan misi dari Resista itu kemudian akan tertuang dengan salah satu program pendirian posko/stand di FE UAJY.  Akan tetapi tidak disetujui oleh pihak birokrasi kampus dengan alasan bahwa kami (Resista) bukan organisasi internal Fakultas Ekonomi Atma Jaya Yogyakarta. Alasan/dalih ini sudah jelas membuktikan bahwa kebebasan akademik di FE UAJY sudah ditutup ruangnya!

Dipenjarakannya kebebasan akademik dan ruang demokratisasi kampus ini dapat dilihat lagi sebagai contoh bahwa Mahasiswa FE UAJY telah merencanakan sosialisasi pengenalan kampus melalui Inisiasi tahun 2011 yang diagendakan setiap tahunnya dalam rangka penyambutan Mahasiswa baru ternyata di ambil alih begitu saja dengan tanpa pertimbangan bahwa penyusunan panitia inisiasi yang telah dibentuk Mahasiswa FE UAJY itu sendiri sudah cukup matang dalam perencanaan yang memakan waktu hingga bulanan. Kepanitian tersebut diambil alih oleh birokrasi kampus dengan dalih bahwa jika Mahasiswa yang mengadakan acara tersebut bersifat “Ospek/tindakan semena – mena kepada Mahasiswa baru”. Padahal bila kita melihat dan meneliti dengan jelas bahwa pengertian/esensi dari inisiasi adalah pengenalan atau sosialisasi akan kampus, tetapi birokrasi kampus menggangapnya berbeda. Jelas hal ini merugikan secara langsung susunan kepanitian yang sudah dibentuk oleh Mahasiswa/i tersebut yang sudah memakan waktu, tenaga, dan materi yang tidak mudah didapatkan dengan begitu saja.

Tindakan – tindakan yang diciptakan oleh jajaran birokrasi kampus seperti ini sudah tersentralisir dari pusat pemerintahan yang ada melalui sistem pendidikan dalam genggaman pemodal dan orang – orang yang pro pemodal yang kemudian melahirkan komersialisasi pendidikan dan sistem yang menitikberatkan seorang mahasiswa. Sadar atau tidak sadar mahasiswa yang berada dalam kampus kini sudah dijadikan robot – robot yang dikontrol oleh sistem birokrasi. Dimana Mahasiswa tersebut harus menjalankan sebuah sistem yang memaksa dirinya dalam tekanan nilai akademik. Hanya dengan berorganisasi yang mempunyai perspektif maju dan revolusioner maka kita akan mampu melakukan perubahan yang mendasar. Dari sinilah tercipta suatu pemahaman akan peranan mahasiswa dalam suatu organisasi gerakan untuk bersama – sama kaum tertindas selalu memperjuangkan dan menegakkan pilar - pilar kehidupan yang demokratis, adil, dan sejahtera di tengah – tengah kebobrokan sistem sosial yang ada.

Untuk itu, kami dari Resista menyatakan sikap :
1.      Tegakkan kebebasan akademik, baik organisasi internal maupun external kampus FE UAJY.
2.      Menyerukan kepada seluruh Mahasiswa FE UAJY dan seluruh Mahasiswa yang ada, sudah menjadi keharusan bagi kita mahasiswa/i untuk bersatu melawan represif dan tindakan – tindakan lainnya dari Birokrat kampus terhadap kebebasan akademik.
3.      Secara tegas menolak praktik – praktik yang diciptakan oleh birokrat kampus dan sistem pendidikan yang ada sekarang terhadap kebebasan akademik dan ruang demokrasi kampus.
4.      Wujudkan pendidikan yang Gratis, Demokratis, Ilmiah, dan Berivisi Kerakyatan

Yogyakarta, 20 Agustus 2011
Daniel Pay Halim


Koordinator Resista - JGMK

Jumat, 22 Juli 2011

"Pendidikan dan Perempuan"

Pendidikan pada dasarnya adalah membebaskan manusia dari kebodohan dan ketertindasan. Kemudian saling membagikannya antar sesama manusia dengan tidak pandang bulu, warna kulit, maupun jenis kelamin yang ada. Pada waktu masa kecil, pendidikan biasanya bermula dari orang tua yang ruang lingkupnya adalah keluarga. Di dalam kelurga itu sendiri pendidikan juga ternyata masih saja dibedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan hingga ke jenjang bangku perguruan tinggi yang seharusnya dijalankan oleh seorang anak baik perempuan maupun laki - laki. Beberapa faktornya seperti menganggap bahwa perempuan akan di “pertanggung jawabkan”, oleh karenanya tidak perlu untuk mendapatkan pendidikan setinggi – tinggi mungkin sedangkan anak laki – laki malah sebaliknya dengan pandangan bahwa mereka akan menjadi tolak ukur atas masa depan.

Fakta ini sudah sangat meluas diseluruh kalangan masyarakat Indonesia sekarang, dimana akhirnya melahirkan dikriminasi antara perempuan dan laki – laki dalam proses sebuah pendidikan. Jika kita teliti lebih jauh lagi, masih banyak fakta mengatakan bahwa peningkatan angka buta huruf masih saja terjadi baik didaerah pedesaan maupun kota – kota. Dan pemerintah juga belum dapat memfasilitasi akan akses tersebut ditambah dorongan faktor dari dalam keluarga yang mengakibatkan akhirnya kaum perempuan tidak mendapatkan akses dalam pendidikan tersebut.

Perempuan yang seharusnya mendapatkan kesempatan pendidikan, bersosialisasi, ruang bicara dan hak yang sama seperti halnya laki – laki pada kenyataannya tidak mampu untuk mengaksesnya karena hal diskriminasi tersebut. Fakta lain juga mengatakan, dilingkungan keluarga peran perempuan memiliki peran penting dalam mendidik anak-anak mereka nantinya, dengan asumsi apabila seorang anak melakukan tindakan yang negatif maka yang disalahkan kemudian adalah seorang ibu yang tidak memberi arahan baik terhadap anaknya. Padahal ketika mendidik seorang anak dalam lingkup keluarga maka peran kedua orang tua sangatlah penting untuk memberikan perspektif yang setara antara perempuan dan laki – laki. 

  Di lingkungan pekerjaan, masih banyak juga ditemukan penekanan terhadap perempuan, misalnya dengan dilarangnya seorang pekerja perempuan untuk ikut berorganisasi, tidak diberikan cuti haid, harus tampil sempurna secara fisik agar menarik, dan lain sebaginya. Disadari atau tidaknya ini merupakan suatu bentuk penindasan atau diskriminasi terhadap perempuan, bahwa untuk menjalankan sebuah pekerjaan tidaklah harus tampil sebagaimana mestinya yang diharapkan oleh pejabat – pejabat perusahaan karena dengan hal itu akan memaksa seorang perempuan untuk tampil sempurna sesuai dengan yang mereka harapkan tanpa melihat kondisi objektif dari perempuan tersebut.

Masih banyak fakta lain yang mengatakan bahwa sampai hari ini kaum perempuan masih saja diperlakukan secara diskriminasi bahkan eksploitasi. Ini karena perspektif yang dibangun adalah semata – mata karena seorang perempuan lemah, tidak berdaya, menerima apa adanya, dll yang kedepannya hanya melahirkan penindasan. Jika sedari awal pendidikan berperspektif kesetaraan  yang dibangun merupakan hak yang sama antara perempuan dan laki - laki maka tidak ada kemudian lahirnya perbedaan tersebut. Hingga hari ini pun, peran pemerintah yang seharusnya mengakomodir semua problematika ini belum mampu untuk menjawabnya. Ditingkatan parlemen juga masih banyak bungkaman yang dilakukan atas suara perempuan untuk mengambil keputusan. Ini bukti bahwa perempuan masih dipandang sebelah mata. Maka, kita sebagai perempuan jangan takut untuk menganilisis, bersuara serta bersatu untuk membongkar semua perbedaan tersebut yang nantinya melahirkan harapan agar kehidupan kita sama, tidak ada lagi penindasan terhadap yang satu dengan yang lainnya.(Pita/Resista)

"Pendidikan Dalam Cengkraman Neoliberalisme"

Berbicara pendidikan hari ini, siapa yang tidak ingin mencapai impiannya dibangku pendidikan hingga setinggi – tinggi mungkin. Dari Sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi negri maupun swasta, dari yang tidak paham menjadi paham, hingga berujung dengan gelar yang disandang nantinya. Akan tetapi, bagaimana realitas pendidikan hari ini?
Pendidikan pada dasarnya adalah membebaskan manusia dari kebodohan dan ketertindasan. Jika kita melihat pendidikan dalam arti secara nasional, pendidikan mempunyai makna bahwa “untuk mencerdaskan bangsa dan manusia yang mempunyai perspektif pembebasan”.
Sejarah Yunani kuno mendiskripsikan pendidikan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan bukan hanya dari ruang kelas (kurikulum, jadwal, fasilitas) tetapi dari praktik realitas yang ada di (pasar, mimbar, pengadilan, buruh pabrik, dll) kemudian itu yang menjadi suatu ilmu. Dan kemudian fungsi guru itu sendiri hanya melahirkan kebenaran dalam diri setiap individu, bukan kebenaran yang dihadiahkan kepada murid. Lalu bagaimana sistem pendidikan yang ada di Indonesia sekarang??? Komponen yang digunakan sistem pendidikan hari ini adalah persolan kurikulum. Perubahan kurikulum sejak 1968, 1975, 1984, 1994 dan pada tahun 2002, yaitu kurikulum berbasis kompetensi. Penetapan kurikulum berbasis kompetensi ini hanyalah jawaban atas rendahnya kualitas lulusan sekolah maupun perguruan tinggi yang akan masuk dunia kerja. Adapun pengertian standarisasi yang di maksudkan adalah keahlian dalam bidang profesi tertentu yang tak lain hanyalah pemenuhan tenaga kerja yang akan masuk ke perusahaan-perusahaan sesuai dengan keahliannya.
Standarisasi keahlian di jadikan kurikulum berdasarkan kemajuan teknologi pada perusahaan-perusahaan yang akan membutuhkan tenaga-tenaga terampil yang dapat mengoperasikan mesin-mesin produksi untuk menghasilkan modal dalam jumlah besar. Secara implisit kurikulum berbasis kompetensi akan mereduksi materi/subtansi tertentu yang tidak signifikan untuk perkembangan industri dan hal ini akan semakin memperpendek masa studi sehingga akan semakin banyak tenaga siap pakai dan murah bagi perusahaan-perusahaan. Pendidikan hari ini direduksi tidak lagi berdasarkan minat tetapi didasarkan atas kebutuhan sistem kapitalisme (pemilik modal). Mata kuliah yang ada kemudian dipecah-pecah dan direduksi prosesnya menjadi lebih pragmatis dan yang tak sesuai dengan kepentingan pemilik modal akan dibuang dan disampaikan dalam potongan-potongan ilmu yang dinamakan Satuan Kredit Semester (SKS). Dan terjadilah pemangkasan masa studi menjadi lebih singkat, dari 6 sampai 7 tahun menjadi 4-5 tahun. Untuk menjamin pasokan tenaga kerja terdidik yang lebih cepat untuk disalurkan kepada pemilik modal. Dan tentu saja ini lebih menguntungkan pemilik modal ketimbang mahasiswa/i, yang kemudian harus mengejar target SKS di bawah ancaman D.O atau pemutihan. kemudian mahasiswa/i tersebut dibentuk dengan tanpa mempunyai rasa kepedulian social seperti pasif, cuek, dan mementingkan diri sendiri. Dan inilah kedepannya yang akan menjadi penindas – penindas baru bagi sebagian besar masyarakat yang tidak mampu dalam mengenyam dunia pendidikan. 
Dalam UUD’45 pasal 31 ayat 4 disebutkan bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang – kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja Negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggara pendidikan nasional”. Jika kita melihat dan meniliti lebih lagi, fakta tersebut ternyata belum berjalan/terwujud! Alokasi anggaran untuk pendidikan pernah mencapai 14% dan hal tersebut masih mengalami pemangkasan oleh Menkeu pada tahun 2007.
Satu hal yang dapat disingkronkan ketika berbicara pendidikan adalah dari yang tidak paham menjadi paham. Kemudian mengabdikan pandangannya tersebut kepada masyarakat. Jika berbicara fakta hari ini, benarkah pendidikan dan nilai – nilai yang terkandung didalamnya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat???
Yang terjadi justru adalah pendidikan dijadikan komoditi bagi sebagian orang untuk mendapatkan keuntungan berlebih (modal) dan untuk mencetak tenaga kerja baru bagi perusahaan-perusahaan, yang berimbas pada komersialisasi pendidikan.
Berbicara pendidikan artinya adalah berbicara proses derajat. Kelas dalam bahasa dramatikalnya bukan ruang atau gedung melainkan suatu manfaat dan berbasiskan realitas masyarakat.  Semua pengetahuan yang diberikan pendidikan hari ini tidak pernah disingkronkan dengan kondisi objektif masyarakat akan tetapi lebih kepada kepentingan pasar, yaitu sistem untung rugi yang diciptakan oleh pemodal. Dimana pendidikan menjadi mahal dan sulit untuk diakses oleh masyarakat Indonesia yang masih tergolong miskin. Maka hanya orang - orang yang berduit sajalah yang mendapatkan pendidikan tersebut.
Jika hari ini kepentingan Negara masih berlandaskan kepentingan pemodal, maka kepentingan pendidikan hari ini pun akan berlandaskan pemodal juga, dan sebaliknya.  Bila amanat Negara mengatakan “pendidikan adalah hak – hak dari setiap orang dan dilindungi oleh undang – undang” maka fakta sekarang amanat Negara tersebut hanyalah menjadi sampah belaka! Pendidikan sejatinya bukanlah perusahaan yang orientasinya uang, bukan juga formalitas yang penuh dengan kekosongan. Dan jika system pendidikan tidak pernah berubah, maka kurikulum tersebut akan melahirkan robot – robot penindas baru bagi sebagian orang yang tidak dapat mengenyam didunia pendidikan. Oleh karenanya, kita sebagai mahasiswa/i sedari dini perlu untuk meningkatkan kesadaran apa itu esensi pendidikan dan kemana tujuan dari pendidikan tersebut. Bersatu dan melakukan perlawanan terhadap system komersialisasi pendidikan adalah sebuah jalan sebelum nantinya kita dijadikan robot – robot penindas baru di Negri sendiri. (Pay/Resista)